Rabu, 18 Mei 2011

UNIKNYA MENTAWAI DI SIBERUT

GERAK tari ritual para sikerei, tato di sekujur tubuh laki-laki dan perempuan, dan rumah adat uma, merupakan warisan budaya tradisional Mentawai yang menarik dikunjungi.

Eksotisme alam dan budaya Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat sudah terkenal ke mancanegara.
Bukan hanya ombak-ombak besar yang jadi teman akrab para peselancar mancanegara, tapi juga budaya Mentawai yang unik sudah pula dikenal sejak lama. Orang Mentawai secara historis ditengarai sebagai gelombang pertama bangsa Indonesia yang datang dari Asia daratan.

Mereka terisolasi di Kepulauan Mentawai, ketika kepulauan itu berpisah dari daratan Asia dan Pulau Sumatera akibat mencairnya es menjadi lautan pada Zaman Pleistocene, kira-kira satu juta sampai 10 ribu tahun lalu. Pemisahan inilah yang menyebabkan flora dan fauna Mentawai sangat berbeda dengan Pulau Sumatera, begitu juga dengan budayanya.

Kepulauan Mentawai yang letaknya berhadapan dengan Samudera Hindia memiliki empat pulau besar yang seluruhnya berpenghuni, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Dari keempat pulau itu, hanya di Siberut kebudayaan tradisional Mentawai masih bertahan.

Melakukan perjalanan ke Pulau Siberut untuk melihat budaya tradisional orang Mentawai bisa dimulai dari Padang. Untuk menuju ke sana, jalur satu-satunya yang tersedia hanya lewat laut dengan kapal regular setiap dua kali seminggu rute Padang-Muara Siberut.

Tantangan berat akan dijumpai jika pergi ke sana di saat musim ombak, sekitar April hingga November. Untuk penggemar selancar, waktu-waktu itu bisa jadi surga tapi untuk mereka yang tak biasa naik kapal laut, perjalanan di bulan-bulan ini akan terasa amat berat. Kapal akan bergoyang lebih keras, bahkan bisa saja pelayaran terpaksa ditunda jika ombak terlalu besar dan disertai badai.

Menjelang memasuki Pulau Siberut, kita akan melihat pemandangan menakjubkan yang mungkin sulit dilupakan, yaitu melihat lumba-lumba yang berlompatan mengiringi kapal untuk 'meminta' makanan dari penumpang kapal. Tak hanya itu, jika tidak musim hujan, air laut tampak jernih hingga ikan-ikan yang berenang terlihat jelas.

Kapal dari Padang akan berhenti di Muara Siberut, ibu kecamatan Siberut Selatan. Dari sini kita akan melakukan perjalanan ke kampung-kampung tradisional dengan menggunakan perahu motor sewaan menyusuri sungai Muarasiberut yang muaranya mengalir di pinggir Muarasiberut. Harga sewa perahu untuk pulang-pergi sekitar Rp1,5 juta.

Kampung tradisional yang paling dekat dan sering dikunjungan wisatawan adalah jalur daerah Sarereiket yang meliputi beberapa kampung tradisional seperti Rogdok, Sakaliou, Madobak, Buttui, dan Atabai.


Menggunakan Bunga dan Daun-daun
Masyarakat tradisional Mentawai hidup secara sederhana di kampung-kampung di tengah hutan atau di hulu-hulu sungai dalam rumah adat yang dinamakan uma ini hidup terpisah satu sama lain, namun mereka sangat menjaga keseimbangan dengan alam.

Penjagaan keseimbangan dengan alam itu didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap kekuatan daun-daun atau yang terkenal dengan kepercayaan Arat Sabulungan. Tak heran jika dalam setiap upacara adat orang Mentawai selalu menggunakan bunga dan daun-daunan.

Dalam konsep Arat Sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena itu orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana.

Misalnya, melepas sampan ke sungai, mendirikan uma, mengobati orang sakit, dan pengangkatan sikerei atau tabib yang punen atau pestanya berlangsung hingga tiga bulan.

Keunikan lain masyarakat Mentawai adalah tradisi merajah tubuh, menghiasinya dengan tato tradisional yang indah.

Tato atau titi' di Mentawai memiliki berbagai arti secara adat. Mulai dari tanda pengenal kelompok yang bisa dianalogikan dengan kartu tanda pengenal, lambang status sosial, profesi, prestasi, dan tentu saja sebagai aksesori abadi yang menempel di tubuh.

Menurut Ady Rosa, peneliti seni tato Mentawai dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP), seni tato mulai dikenal di Mentawai sejak orang-orang Siberut datang ke Indonesia antara 1500-500 SM. Tato di Siberut, sudah ada jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1.300 SM.

Di Siberut ada sekitar 160 motif tato. Masing-masing tato mimiliki arti tersendiri dengan mutu dan keindahan yang memperlihatkan kekuatan ekspresi si pembuat tato yang biasa disebut sipatiti.

Tato dibuat dengan cara menggambar motif tato yang diingankan dengan lidi yang dilumuri jelaga, arang tempurung, dan dicelupkan ke air tebu di bagian yang akan ditato. Setelah itu baru ditato menggunakan jarum. Biar nggak infeksi, sipatiti mempunyai cara tersendiri yaitu dengan melumuri tato dengan air abu.

Bagaimana rasanya ditato?

"Sakitnya sampai ke jantung, saat bagian dada saya ditato," kata Teutaloi, 60 tahun, ketua dewan adat di Ugai, Siberut Selatan.

Ia mengaku selalu demam setiap kali habis ditato. Tapi rasa sakit yang dirasa tak menghalangi Teutaloi untuk kembali mentato bagian tubuh lainnya.

Hampir seluruh bagian tubuhnya dihiasi aneka motif tato, meski prosesnya dikerjakan secara bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun. Rasa sakit ini pula yang membuat anak-anak muda Mentawai enggan ditato.
"Saya mau saja kalau tidak sakit," kata Aman Baroigok, anak seorang kepala suku di Sakaliau.

Alasan seperti itulah yang kemudian membuat tradisi tato Mentawai mulai langka hingga jarang ditemukan orang Mentawai usia di bawah 40 tahun yang masih bertato. Uniknya, sebagai sebuah tradisi khas Mentawai, tak jarang para turis asing yang berkunjung meminta bagian tubuhnya ditato. Permintaan itu biasanya dipenuhi dengan mentato motif yang tak memiliki arti tertentu, hanya sekadar hiasan di bagian tubuh yang diinginkan.

Saat datang ke Siberut beberapa waktu lalu, saya sempat singgah di uma suku Sakaliau. Uma yang didiami oleh enam kepala keluarga ini pintu masuknya dihiasi puluhan tengkorak monyet dan rusa yang digantung bersamaan dengan hiasan kayu, dan hasil buruan kepala suku.

Sementara untuk keluarga muda, mereka biasanya tinggal di sapou atau rumah-rumah yang lebih kecil.
Selama berada di uma ini saya bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari suku Sakaliau yang masih tradisional, seperti mengolah sagu dan berburu. Selain itu juga sempat menyaksikan upacara pengobatan yang dilakukan oleh seorang sikerei.

Tapi jika kebetulan sedang beruntung kita mungkin bisa menyaksikan upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara memegang panah pertama, upacara pembuatan tato, upacara kematian, dan upacara adat lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar